PENGARUH ERA GLOBALISASI TERHADAP EKONOMI
KOPERASI
Permasalahan
eksternal yang paling mendasar yang dihadapi oleh kopera sebagai gerakan
ekonomi rakyat adalah masalah iklim usaha. Belum membaiknya iklim usaha
dilingkungan koperasi antara lain diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk
mengembangkan permodalan, teknologi produksi,pemasaran, dan informasi.
Kesulitan tersebut berpangkal dari adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk
secara alami sebagai derivasi dari sistem perekonomian yang dilaksanakan,
maupun yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya
dukungan iklim usaha yang kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan
mengembangkan bisnis sangat diperlukan bagi mereka. Sementara itu dewasa ini
banyak pihak-pihak yang secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan
komitmennya yang kuat pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi
kebijakan operasionalnya, masih banyak pula peraturan perundangan baik di
tingkat pusat maupun di tingkat propinsi, kabupaten dan kota yang justru
menjadi penghalang bagi ekonom rakyat untuk dapat maju dan berkembang
Perubahan Kondisi Perekonomian dan Pembangunan
Koperasi
Masalah
pembangunan koperasi selama era kemerdekaan masih terjebak dalam
persoalan-persoalan klasik seperti lemahnya partisipasi anggota, dan rendahnya
akses koperasi terhadap sumber permodalan, pasar dan teknologi.Dari sini timbul
pertanyaannya “apa sebenarnya yang telah mampu diperbuat oleh para pembina
koperasi selama sudah lebih dari 60 tahun?”. Memang dari masa kemasa
perkembangan koperasi berfluktuatif. Pada era orde lama sebenarnya banyak
koperasi yang bagus-bagus atau koperasi-koperasi yang dapat melaksanakan
berbagai ragam usahanya untuk kepentingan pelayanan bagi anggotanya.
Koperasi-koperasi seperti ini pada waktu itu banyak terlihat di Kabupaten Tasik
malaya, Pekalongan, Cilacap dan Purwokerto. Pada masa orde baru, koperasi
seperti itu kebanyakan sulit dijumpai lagi, padahal frekuensi pembinaan
terhadap koperasi pada masa itu dilakukan sedemikian intensif. Yang menjadi
pertanyaan adalah “bagaimana bisa terjadi kondisi seperti itu?”. Disini perlu
diperhatikan kembali anatomi koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibangun
oleh anggotanya, dimiliki oleh anggota dan bekerja untuk kepentingan anggota.
Konsepsi seperti ini jelas tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 1967, tetapi jiwa
dari prinsip dasar koperasi tersebut tidak terlihat jelas pada UU Nomor 25
Tahun 1992. Kondisi seperti itu mungkin terkait dengan keinginan pemerintah
pada waktu yang menghendaki koperasi dapat segera difungsikan sebagai lembaga
penghimpun kekuatan ekonomi rakyat, yang dituntut untuk juga dapat memberikan
pelayanan yang lebih luas bagi semua anggota masyarakat (termasuk yang bukan
anggota koperasi), sehingga pada waktu itu ada istilah calon anggota dan
anggota yang dilayani. Dari aspek eksternal pembinaan koperasi, masalah
lemahnya koordinasi dalam rangka pembinaan yang multi sektor merupakan lagu
lama yang selalu diperdengarkan kembali dapat disinyalir, hal ini terkait
dengan kebijaksanaan dasar pemberdayaan koperasi yang tidak secara tegas
membagi tugas pembinaan secara sektoral. Sehingga ada kesan semua instansi
sektoral mempunyai peran yang dominan tetapi tanggung jawab terhadap
keberhasilannya kurang diperhatikan dan tanggung jawab tersebut akhirnya hanya
dilimpahkan ke alamat Departemen/Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Disini
terlihat secara lebih jelas peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang
ini masih belum dapat mengakomodir penetapan peran tugas dan tanggung jawab
antar instansi. Selama kebijakan dasar tersebut masih mengambang.
Inti
permasahan yang dihadapi oleh koperasi sekarang ini adalah ketidakmampuan
koperasi untuk menjadi lembaga usaha yang mampu memberikan pelayanan kepada
anggotanya dalam menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak berpihak
kepada kelompok ekonomi lemah. Kelemahan internal koperasi lebih diperburuk
lagi dengan kondisi lingkungan yang diciptakan oleh era globalisasi dan
kebijakan makro yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak dapat
mengembangkan efisiensi atau inovasi dalam berusaha. Efisiensi merupakan fungsi
ekonomi yang terkait langsung dengan inovasi teknologi dan kecanggihan
manajemen informasi. Koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibentuk oleh
para anggotanya yang umumnya terdiri dari UMKM terlihat sulit untuk dapat
mengembangkan faktor kunci globalisasi tersebut (efisiensi dan inovasi).
Pertanyaannya kemudian adalah “apakah koperasi tidak memiliki peluang untuk
tetap dapat eksis dalam perekonomian nasional yang semakin pekat diwarnai oleh
kondisi globalisasi?”. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperhatikan banyak
aspek terutama yang berkaitan dengan kendala permasalahan potensi dan peluang
koperasi. Persoalan yang muncul jarang diselesaikan dari akar permasalahannya.
Hal ini memang biasa dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendalami dengan
baik tentang suatu persoalan yang akan diselesaikan. Tetapi adalah naïf jika
orang tersebut sebenarnya berada dalam suatu sistem yang menghadapi
permasalahan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hal seperti ini tentunya
menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya dengan ilmu pengetahuan
dan pengalaman, tetapi yang lebih penting disini perlu dipertimbangkan adalah
sejauh mana hati nurani berperan. Hal-hal seperti itu memang sudah berlangsung
cukup lama dan tidak pernah mengalami perubahan. Walaupun sudah lebih dari tiga
generasi atau orang-orang yang bekerja dilingkungan Departemen /Kementerian
Negara Koperasi dan UKM. Pertanyaan lebih lanjut “adakah cara penyelesaian
masalah seperti itu masih akan terus dipertahankan dan sampai kapan?”. Jawaban
atas pertanyaan tersebut tentunya tidak dapat diberikan dalam waktu dekat
karena disini juga moral dan hati nurani harus ikut berperan. Kondisi yang
terlihat sekarang ini adalah bahwa jangankan anggota koperasi, dikalangan
pembina koperasipun sekarang ini masih banyak yang belum mengetahui dengan
pasti yang dimaksud dengan asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi. Apalagi
setelah era otonomi daerah, banyak kalangan pembina koperasi di daerah yang
sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang koperasi. Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya “Hendak kemana diarahkan dan koperasi di bawa?”.
Pertanyaan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh para pemerhati dan pecinta
koperasi, namun syah saja kalau para pembina koperasi sekalipun masih
mengemukan pertanyaan yang sama sebagai gejolak nuraninya yang paling dalam.
Satu hal yang mungkin dapat diinformasikan adalah bahwa dikalangan pembina di
Tingkat Pusatpun, mungkin banyak manusia yang bernama pembina koperasi tetapi
tidak memahami sama sekali tentang asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi,
karena mereka memang berasal dari lingkungan di luar koperasi. Oleh sebab itu maka
wajar-wajar saja bila kebijakankebijakan yang diambil tidak relevan dengan
kepentingan pemberdayaan koperasi. Yang sangat ironis adalah bahwa
kebijakan-kebijakan seperti itulah yang pada akhirnya sering membunuh
kreatifitas kalangan yang menginginkan koperasi tumbuh dan berkembang sesuai
dengan asas dan prinsip dasarnya. Hal ini pulalah yang menyebabkan banyak unsur
pendukung pemberdayaan koperasi yang terlepas dari akarnya seperti Perum PKK,
Bank Bukopin dan PT. PNM. Persoalan komplementer yang juga perlu mendapat
perhatian serius adalah penyusunan kebijakan dan program-program pembangunan
koperasi terkesan bukan untuk jangka panjang dan berkesinambungan (long term
and sustainable), tetapi lebih didasarkan kepada selera pejabat. Kondisi
seperti ini juga masih merupakan masalah klasik yang sulit untuk diatasi karena
kebijakan Kementerian Negara Koperasi dan UKM adalah derivasi dari kebijakan
pembangunan nasional. Sedangkan dalam RTJM rencana kegiatan dikemukakan secara
normatif yang mungkin hanya dapat dibaca dengan baik oleh kalangan yang
mengerti tentang koperasi. Sebaliknya seperti dikemukakan diatas, sebagian
kalangan pembina koperasi sendiri cenderung banyak yang belum memahami.
Akibatnya
usaha koperasi tidak pernah mencapai titik marginal produktivity. Dengan
perkataan produktifitas
koperasi
selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Tidak kondusifnya iklim usaha koperasi yang mempengaruhi
produktifitas koperasi dapat dilihat dari berbagai aspek kegiatan usaha UMKM
sebagai berikut :
- Rendahnya kualitas SDM Disamping kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan kondisi SDM usaha mikro dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan dan pendidikan mereka. Hasil pengamatan Suhartoyo di Kabupaten Tasikmalaya (IPB 2004), seperti memperlihatkan bahwa rata-rata pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha yang ditekuninya relatif cukup baik, tetapi dari aspek pendidikan dan pengetahuan tentang inovasi dibidang produksi dan pengembangan teknologi serta, dibidang manajemen usaha dan pemasaran relatif rendah.
- Kesulitan untuk mengembangkan permodalan Rata-rata pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks harga tetap relatif rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan modal mereka tidak banyak berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit meningkat hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya inflasi. Kondisi yang demikian nampaknya sangat wajar karena pendapatan yang diperoleh koperasi belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Kecil sekali peluang bagi kelompok ini untuk menabung yang dapat digunakan untuk menambah modal atau meningkatkan investasinya.
- Rendahnya kualitas teknologi Hasil kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005 terhadap 27 koperasi contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa nilai bobot rata-rata teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru mencapai nilai 1,67 atau tergolong dalam kelompok pengguna teknologi tradisional. Lebih lanjut dikatakan pengembangan teknologi produksi dari produk-produk yang dihasilkan koperasi belum dapat meningkatkan produkfitas dan memperbaiki kualitas produk.
- Kelemahan akses terhadap Pasar Kesulitan koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang berkaitan dengan informasi. Tetapi kendala tersebut bukanlah harga mati, karena banyak variabel-variabel pemasaran produk koperasi yang dapat diandalkan seperti rendahnya harga jual produk koperasi yang menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan di pasar internasional. Rendahnya eksistensi koperasi dalam penguasaan pasar memang lebih terlihat sebagai dampak dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun sesungguhnya kondisi pasar yang demikian merupakan indikator dari adanya masalah pokok yang tidak terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang dikuasai oleh komponen sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya berperan sebagai Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan kemampuan menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya (para pedagang besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat, yang selama ini berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat dipatahkan.
Sumber:http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISi2030/8_strategi_koperasi.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar