Kasus Bank Lippo bermula
dari terjadinya perbedaan laporan keuangan kuartal III Bank Lippo, antara yang
dipublikasikan di media massa dan yang dilaporkan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Dalam laporan yang dipublikasikan melalui media cetak pada 28 November 2002
disebutkan total aktiva perusahaan sebesar Rp 24 triliun dengan laba bersih Rp
98 miliar. Sementara dalam laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total
aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 triliun dan rugi bersih (yang belum diaudit)
menjadi Rp 1,3 triliun.
Rekayasa laporan keuangan
dilakukan keluarga karena mereka memiliki agenda terselubung yaitu untuk kembali
menguasai kepemilikan Bank Lippo. Rekayasa laporan keuangan tersebut dilakukan
dengan cara melaporkan kerugian yang tidak terjadi, kerugian bank itu
direkayasa melalui 2 cara yakni menurunkan nilai aset melalui valuasi yang
dirancang sangat merugikan bank dan transfer aset kepada pihak terkait untuk
menciptakan kerugian di pihak bank, tetapi menguntungkan pemilik lama.
Lippo Goup juga memiliki
trik licik dalam bisnis yaitu dengan melakukan goreng saham. Selain penurunan
nilai aset yang tidak rasional, manajemen Lippo juga merekayasa secara
sistematis untuk menurunkan harga saham Bank Lippo di BEJ dengan cara “menggorengnya”. Akibatnya, harga saham turun drastis dari Rp 540 di
bulan Agustus 2002 menjadi Rp 230 pada Februari 2003 (turun 50 persen lebih).
Cara “goreng saham” dilakukan untuk memperbesar kepemilikan
saham dari pemilik lama melalui right issue yang dipaksakan dalam harga pasar
sangat rendah karena mereka mengetahui pemerintah tidak bersedia membeli saham right issue
(rekapitalisasi kedua) karena bertentangan dengan UU Propenas. Saham pemerintah
menjadi terdilusi, sehingga kepemilikan saham menjadi dominan kembali hanya
dengan dana yang kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar